Sudah lebih dari lima puluh menit ia duduk di kursi tunggu, memandangi teduh wajah dan langkah penduduk kota T yang menggelangkan karet aneka warna: merah, kuning, hijau, biru, hitam, transparan. Digit almanak menyinari kepala yang ditumbuhi rumput kelabu merancung jarang-jarang: 13 Februari 2050, entah pukul berapa. Hatinya menyaput dalam kabut dan penantian. Kereta yang hendak menyeretnya ke kantor baru belum kunjung tiba.
Selain kabut dingin dan bau rumput basah yang jarang ia jumpai di kota S, pria itu terheran oleh jalanan yang umpama pemakaman: aspal hitam mulus, tiada ranjau-ranjau paku dan baut yang berebahan bebas, tak ia dapati mobil yang menjeritkan klakson ke pantat bus tua lengang yang ia tumpangi, kecuali sepeda yang dikayuh perlahan oleh manusia-manusia lamban.
Kepalanya mendongaki dinding stasiun, mengelap keringat di kening oleh setangan. Berkali-kali, sebelum tangannya meraih ponsel dari dalam tas kulit buaya.
“Halo, selamat pagi, Pak. Maaf mengganggu,” kemudian dibalas suara dari udara.
“Oh, kau sudah menelepon? Saya masih di kasur. Betapa giatnya!”
Pria itu mengulum senyum, “Biasanya, jam berapa Anda ke kantor, Pak?”
“Jam?”
“Ya, Pak, Anda berangkat jam berapa?”
“Sebentar lagi saya berangkat.” Saya harus bercinta, mandi, mengantar lanang ke sekolah, mencabuti rumput liar di taman, memasak rendang, bercinta lagi, kilahnya. Meski tergaguk-gaguk menyimak dalih yang renggang dari kegaliban seorang bos, pria itu memungkas panggilan. Matanya mencelat ketika menatap layar ponsel usai sadar jam tangannya ketinggalan di kota S, “Lho, jamnya mana?” Ia jelajahi pengaturan tanggal dan waktu dalam ponsel. Pengaturan tanggal dan waktu beku, berkali-kali berupaya ia tembus.
“Aneh, ke mana perginya seluruh jam di kota T?”
Di kota S, kereta biasa tiba dan lalu tepat waktu. Segenap penduduk ikut-ikutan menepati waktu. Ia bingung harus jengkel atau senang mendapati keunikan di tempat baru. Di kantor lama, ia kerap ditelepon majikan berkali-kali kala tengah berdiri satu kaki secara bergantian dalam sesak kereta listrik; sebatas waktu luang saat perjalanan ke kantor saja dicuri demi diinstruksi aneka pekerjaan yang harus tuntas hari itu. Menjelang senja, ia pulang tak pernah tepat waktu, paling cepat, ia pulang tiga-empat jam lebih terlambat.
“Baiklah, besok bangun siang saja. Aku harus terbiasa terlambat di sini.”
Mengelebat pemuda berompi biru yang berjalan dengan setumpuk kertas dalam pelukan. Ia memanggil pemuda itu sembari bangkit, pemuda berompi berjalan menghampiri dengan tidak terburu-buru.
“Koran pagi ini?” ia sambar satu eksemplar, “kenapa siang sekali?”
“Seperti biasa, Tuan. Ini koran kemarin.”
“Kemarin?” mata pria itu menyipit. “Apa gunanya saya membeli dan membaca koran kemarin, Nak?”
“Ah, Anda turis rupanya. Harap Tuan percaya, koran kemarin di kota ini lebih aktual ketimbang koran hari ini di kota sebelah. Lagi pula, apa yang semestinya diberitakan jika kota ini sudah begini damai?”
Ia membaca sekilas dan kemudian mendapati konten yang tak biasa. Belum sempat ia berpikir, “Tuan jadi beli? Kalau urung, boleh saya pergi?”
Pria itu mengangsurkan selembar kertas lusuh dari rogohan kocek kepada loper. Mengernyit keningnya saat menerima tampikan loper, “Tuan, betapa tergesa-gesanya Anda. Kami biasa membayar sesuatu yang kami beli hari ini, pada esok atau dua hari berikutnya,” sang loper tersenyum tawar sambil berlalu dan kembali melenggang pelan tanpa menjajakan dagangannya secara persuasif.
Sekarang ia kembali hanyut dalam benam kursi tunggu seraya membaca koran; lembar-lembarnya tersusun dari kertas yang lebih bagus dari brosur promosi town house di pulau perawan seberang kota S, namun demikian ada keganjilan yang membuatnya menyesal telah membeli koran itu.
“Wartawan pemalas! Loper penipu! Ini sih cuma lembar-lembar obituari!”
Ketimbang tiada kegiatan yang bisa dilakukan selain membaca koran―lagi pula belum ia tebus dengan uang, ia menilik halaman muka koran. Berita kematian yang sungguh estetik, dengan tata letak dan tipografi ciamik. Profil mendiang lengkap dengan potret kala usianya belia sebelum sukses, sebelum mati, didedah secara komprehensif, seperti udaran tokoh-tokoh politik yang berusaha merayu pada halaman penuh di surat kabar kota S.
Selanjutnya, pandangnya tertumbuk pada lembar serupa lembar sebelumnya, dengan nama dan profil berbeda. Kali ini wanita anggun yang berpose membidikkan kamera berlensa tele gelang putih terhadap gumpal-gumpal awan yang sejajar dengannya dalam foto itu. Menurut paparan penulis, ia berpulang tersebab kehilangan hati yang dicuri oleh kekasihnya untuk ibunya yang kesepian.
“Adakah sesuatu yang agak waras di kota ini?” ia berdecap takjub.
Konon semasa hidup, wanita itu senang berkegiatan di alam bebas, travel photographer wanita―satu-satunya―di kota T, dan itu yang membuat ia merenda kasih dengan teman liputannya. Namun sayang, sang kekasih lebih mengasihi ibunya, sehingga nekat mencuri hati wanita itu untuk ibunya. Wanita itu meninggal, ibu kekasihnya bertahan hidup, kemudian lelaki itu memutuskan menikahi ibunya.
“Edan!”
Tak ada yang dilamurkan; segenap mendiang atau orang-orang terdekat almarhumah termasuk kekasih khianat itu bercantum nama sebenarnya, seolah perbuatan mencuri dianggap biasa. Termasuk mencuri organ tubuh sevital hati. Namun demikian ia pun maklum sekaligus ragu, adakah profesi polisi dan jaksa di kota ini yang biasa menindak rerupa kriminalitas seperti melimpah di kota S?
Sejelalat ia teringat wanita yang sudah sekian lama usang, bahkan namanya siapa ia lupa. Kini seseorang itu menyinggahi kenangan, mengetuk-ngetuk palung kalbu yang kini kian mengelabu.
“Ah, kau di mana? Aku melajang selama lima puluh tahun hidupku. Demi kau, Sayang. Mengapa kau tak kunjung kembali? Kau menghilang sejak saat itu, ah, saat itu…, di senja yang remang di taman satu-satunya kota S yang sesibuk broker di bursa efek itu? Jika kau kembali, kemarilah, ke kota ini. Kota ini begitu tenang, saking tenangnya, aku jemu menunggu kereta yang terlambat di hari pertama kepindahanku dari kota S. Tiada sesalku yang sangat daripada kejadian kala itu: membiarkanmu pergi tanpa berpayah menggamit lenganmu, mengadang langkahmu.”
Ia melesakkan lembar-lembar koran ke dalam tas. Berdiri celingak-celinguk mencari-cari kamar kecil, sekadar untuk becermin: apakah keriput wajahnya memang sudah berusia 50? Di kota S ia tak punya cukup waktu untuk becermin.
“Apa? Tidak ada kamar kecil di sini? Kalian semua berak di gundukan kerikil rel?”
Petugas stasiun menggeleng. “Di sini, adanya kamar besar,” ia menutur sopan seraya menuding sebuah tempat yang begitu megah. “Di sana kamar besar. Kami sesekali buang air dan becermin dan mencuci tangan sebelum makan di sana. Silakan tengok, moga-moga saya tak keliru menafsirkan istilah Anda.”
Membebek tudingan petugas stasiun, pria itu melangkah menuju kamar itu. Petugas itu benar. Wastafel berjejer apik, cermin-cermin sebening mata bocah menemplok di atasnya. Usai membasuh tangan, ia mematut-matut diri di depan cermin.
“Kawan, benarkah aku lima puluh sudah?” tanyanya pada makhluk dalam cermin yang murung. “Cepat sekali! Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya dua puluh tahun silam. Merayunya. Mencumbunya. Mencintanya. Menempelengnya. Menindasnya, oleh kelelakian. Namun dia begitu setia, sebelum senja itu. Aku tak tahu diuntung. Senja itu, aku keranjingan melakukan dua me- yang terakhir, hingga dia pertama kali menangis, atau, mungkin tangisan pertamanya yang kulihat. Esoknya… di taman itu… aku terperenyak, kesepian tanpanya.”
Partikel gusar dan sesal mengudak-udak masa lalu hingga luber dalam benak. “Kini aku menyerah. Sedikit lagi…”
Makhluk dalam cermin ikut menitikkan airmata.
“…sedikit lagi, yah, lebih baik aku mati saja. Seperti tokoh obituari di koran kemarin. Kuharap riwayat ia pun termaktub di dalamnya, bersamaku.”
Ia masih berdua dalam kamar besar di depan cermin bersama makhluk plagiasi di dalamnya. Sepi. Apakah penduduk kota T suka menunda-nunda hasrat buang air pula? Ah, manusia-manusia beruntung, yang agaknya kebal menunda kerinduan dan penyesalan seperti menghinggap pria yang beranjak senja usia itu.
Tertatih ia keluar dari kamar besar, tangan kanan menggapai-gapai tembok. Kemeja bergaris yang semula rapi kini memburai dari celana, dua kancing teratasnya berlepas. Kereta belum juga terparkir di stasiun. Dengan seadanya upaya, ia bertanya pada petugas tentang nasib kereta yang ia nanti-nanti. “Sebentar lagi, Tuan. Kereta tiba cukup lama sebab cuma Anda penumpang dari stasiun ini.”
Tidak ada patokan pasti pukul berapa dari petugas. Jelalatan mata pria itu, mengubek kursi tunggu semula. Keringat mengucur menelusuri keriput wajah saat ia merekatkan pantat pelan ke kursi yang keras itu.
“Frisium, ticard, cholestat. Aku lupa membawamu dari kota S.”
Matanya memejam, dadanya naik turun, menggantikan peran detik-detik jam yang tak dikenal oleh penduduk kota T. Tas kulit buaya mencium lantai. Ia berupaya merogoh ponsel dari dalam tas demi menelepon bosnya lagi, menanyakan keberadaan sang bos, apakah sudah di kantor atau masih… “Tak mungkin beliau masih di rumah,” pikirnya.
Nada hubung berganti kemerosok halo di udara.
“Pak, maaf, barangkali baru sore ini saya sempat ke kantor,” suaranya kian melemah. “Kereta di stasiun kota T rupanya tak berniat buat melayani penumpang.”
“Begitu? Bagus. Saya pun masih memasak rendang. Mungkin malam baru sempat ke kantor. Sudah, santai sajalah. Cabang kita di kota T begini adanya. Buat apa tergesa-gesa? Kau tunggu saja kereta itu. Mungkin sebentar lagi. Kalau tak ada, pulang saja.”
Keringat menguyupi kemejanya yang seperti baru tercelup ke dalam seember air. Tak kuasa ia berpikir, apa lagi bertanding kata. Namun demikian ia berikrar menjejak kantor untuk bekerja pada hari pertama kepindahannya. Apa pun masalahnya. Kapan pun waktunya. Bagaimanapun caranya.
“Hei, kau berjanji?” telinganya pekak oleh gelak dari corong ponsel. “Janji itu seperti sampah di sini. Ketimbang berjanji, aku lebih suka memasak rendang. Begini saja. Jika kereta tiba, segera kau naik. Tapi turun di stasiun M ya! Tak usah ke kantor. Kau ke rumah saya saja. Kau tak keberatan mencicipi rendang buatan saya? Oh, alangkah ruginya andai kau melewatkan itikad baik bosmu. Sudah seisi kantor pernah memekikkan ‘bangsat’ sehabis mencicip rendang racikan saya. Hampir setiap hari!”
Daya tinggal seciprat, pria itu mengiya dan mengucap terima kasih dan selamat siang. Ponsel terpelanting ke peron, berbarengan dengan geretak kepala yang menghantam lantai. Dan yang ia lihat kini sebatas hitam, perlahan mengelabu.
Putih. Ia terjaga berkat bisikan asing, belum pernah ia dengar sebelumnya alunan sehalus, semerdu itu. Berpayah ia singkap matanya lalu memandang atap, hati-hati membetulkan posisi lehernya. Kereta mengonggok di pelupuk mata. Keterpukauannya kian menjadi saat menyadari di sampingnya duduk makhluk yang entah tampan atau cantik―sangat sempurna―yang tengah mencatat sesuatu pada kertas yang begitu putih, sama putihnya dengan kain selebar seprai yang membalut tubuh makhluk asing yang menguar daripadanya wewangian taman surga.
“Kereta sudah tiba. Silakan naik, Tuan. Mari, saya dampingi.”
Masih berbaur panik dan takjub, ia menerabas ke dalam kereta. Makhluk yang mendampingi pria lima puluh tahun itu berjalan amat halus, nihil entakan. Seperti orang yang menggeleser dengan papan luncur di atas lantai licin. Pria itu menyadari bahwa ada yang tak lazim, tetapi ia terus menyumpal mulut, hingga mengenyakkan pantat ke kursi yang menurutnya paling nyaman dalam kereta yang kosong itu. Cuma ia penumpang dari stasiun ini, bahkan tiada penumpang dari stasiun sebelum-sebelumnya. Makhluk sempurna itu turut duduk kemudian menyalaminya. Pria itu tertegun melihat cahaya berpendar dari genggaman keduanya.
“Saya datang mewakili malaikat pencabut nyawa. Saya datang terlambat sebab banyak sekali manusia yang harus dicabut nyawanya hari ini. Esok pun. Lusa. Hingga bertahun-tahun, sampai lima puluh tahun. Lima puluh tahun mendatang, barulah giliran Tuan. Saya sekadar mengabari, supaya Tuan tidak menunggu-nunggu dalam ragu.”
Pria itu termenung dalam duduk lantas membelalaki sekujur tubuhnya yang tak lagi terlilit oleh kemeja dan pantalon. Telanjang. Tas kulit buaya entah ke mana. Ponsel dan koran kematian yang turut sirna dalam tas barangkali telah melamur jadi masa lalu.
“Aku harus menahan derita lima puluh tahun lagi, maksudmu? Majikanmu tega sekali padaku!”
Beberapa saat pria itu menggerutu lantaran kematiannya tertunda. Macam-macam kata ia lontar, hingga ia kehabisan kosakata. Namun demikian ia sadar tak bisa berkehendak apa-apa.
“Jika aku berpasrah―dan pasti kau senang, bolehkan aku memohon sesuatu padamu? Sebelum kau pergi nanti dan kembali mendampingi malaikat pencabut nyawa lima puluh tahun lagi.”
“Tentu, Tuan.”
Ia mengutarakan keinginannya untuk ditemani seseorang yang kerap menghantui dalam rindu itu. Ia ingin melesapkan lima puluh tahun lagi bersamanya, membalas tuntas dendam dalam penantian panjang puluhan tahun kemarin. Ia mengumbar wajah memelas pada ajudan malaikat pencabut nyawa yang sinar matanya kian memendar-mendar. Sang ajudan tersenyum maklum, “Maaf, tidak bisa.”
Pria telanjang menyentak, “Kenapa? Mengapa aku tak bisa berjumpa dengannya, sekalipun aku sudah menerobos alam aneh ini?”
“Dia sudah tidak di sini.”
“Oh. Lebih baik aku mati saja, kalau begitu?” lantangnya. “Cepat, cepat, cabut saja nyawaku, ajudan! Kau bisa kan, kau punya otoritas untuk berbuat apa yang majikanmu perbuat! Aku bersedia! Buat apa hidup lima puluh tahun lebih lama jika aku masih tetap sendiri seperti lima puluh tahun kemarin?”
“Untuk mematikan manusia, tak semudah itu, Tuan.”
Pria itu meremukkan jendela kereta yang sedang meluncur tunak oleh kepalanya. Meraup serpihan kaca di kursi, menembuskannya pada batok kepala. Membelek dadanya. Kemaluannya. Ia berteriak sebab tak merasakan sakit apa pun.
“Tuan tidak bisa mati hari ini. Tunggu lima puluh tahun lagi. Bakda itu, nanti, niscaya Tuan akan bertemu dengan wanita yang sudah tenang di sana.”
Pria itu tersedu dengan beling menancapi mata, perut dan kemaluan, namun tiada darah maupun nanah yang menyembul daripadanya, juga ajal.
Laju kereta melambat berkat rem yang mendayu. Tampak ajudan malaikat pencabut nyawa bersiap-siap turun. Pria lima puluh tahun ikut mengemasi serpih beling dan tangisnya. Namun sang ajudan mengadang kemudian mengangsurkan kemeja bergaris, pantalon, pantofel dan tas kulit buaya padanya.
“Sampai jumpa lima puluh tahun lagi, Tuan.”
Kereta berhenti di sebuah stasiun yang indah, langit menyemburat jingga senja paling indah di pantai dara. Ajudan malaikat pencabut nyawa melayang dan luput dari kereta. Pria lima puluh tahun memupus tangis dan lekas mengenakan seluruh pakaian. Tas kulit buaya menyampiri pundak. Kereta melaju meninggalkan stasiun utopia, dan tak lama berhenti di stasiun yang ramah baginya. Stasiun kota S! Alangkah meriah dan meruah penumpang yang naik ke kereta yang ia tumpangi. Ia pun terpaksa berdiri, merelakan tempat duduknya direnggut wanita menor montok menggemaskan. Wanita itu membujukrayu dengan desahan yang dibuat-buat.
Pria itu menyambut, namun sama sekali tak terpantik gairah, “Maaf, aku setia menantinya lima puluh tahun lagi.”
“Tapi sekarang kan 14 Februari. Yakin rela menolakku, Tuan?” genitnya.
Pria itu kukuh tak acuh, meski dengan mesra keriput wajahnya dibelai-belai wanita itu. Merasa tak diindahkan, wanita menor merengut, beranjak merayau kursi-kursi yang tengah diduduki pria lain. Pria lima puluh tahun dapat duduk leluasa kini, masa bodoh terhadap wanita-wanita maupun gadis yang payah berdiri di dalam kereta. Hingga seorang wanita menghampiri melengkung senyum, rambutnya dipangkas pixie, memamerkan leher jenjang dan dagu lancip. Bibir merahnya menggiring benak dan rasa pria itu ke masa dahulu, dulu sekali. “Cinta selalu tepat waktu, Sayang,” wanita itu menyodorkan kotak bentuk hati berwarna cokelat berpita merah jambu padanya, “kamu jangan nakal lagi ya.”[]
Bogor, Maret 2014
Cepy Hidayaturrahman