Minggu Pagi
Sudah saya sangka tekanan darah saya tidak sama seperti seharusnya manusia seusia saya. Mungkin karena terlalu serius hadapi hidup ini dan anggap semuanya sungguhan padahal barangkali bermain gim RPG lebih nyata bagi saya. Saya sudah ketinggalan jauh dari teman-teman saya— yang lebih periang dan pandai berkomunikasi dan memiliki kemampuan interpersonal maha dahsyat itu — yang sudah bekerja di perusahaan konsultan manajemen Inggris, sedangkan saya masih di sini-sini saja. Sejujurnya saya lebih suka mengatakan tidak, karena terus-menerus mengikrarkan belum hanya membuat saya terbenam dalam harapan semu yang semakin kelabu, kian lamurkan obsesi.
Dampaknya saya rasakan pagi ini. Saya jadi harus berlari sejauh lima kilometer setiap Minggu di kompleks perumahan yang tak mungkin terbeli oleh masyarakat sekitarnya. Padahal hari Minggu adalah satu-satunya hari kosong; semestinya saya melakukan satu kegiatan saja di kasur untuk tidur seharian hingga malam dan keesokan paginya. Kali ini saya menuruti anjuran dokter untuk memompa jantung setidaknya sekali seminggu agar aliran darah kembali normal, sebab saya ingin darah yang muda ini benar-benar kembali dalam aliran seyogianya. Meski sesungguhnya ingin saya habiskan hari Minggu cukup dengan membaca buku di kasur, dan lima belas menit kemudian ketiduran; harap sebangun dari lelap lupakan hari esok yang selalu tumpat dengan kesibukan dan penuh dengan keduniaan.
Saya sempat ingin mati saja. Mungkin orang apa adanya macam saya yang anehnya malah tampak aneh di antara lain-lain, seharusnya mati muda saja karena tidak relevan dengan realitas yang menjunjung tinggi solidaritas dari atas hingga bawah tanah. Semua orang tumbuh dengan kepura-puraan dan mereka senang melakukannya. Mungkin hanya dengan berpura-pura mereka dapat hidup lebih mulia dalam pikiran mereka.
Orang seperti saya mungkin ditakdirkan senantiasa gulirkan hal-hal yang tidak signifikan semacam menghitung pajak orang-orang kaya itu dan memastikan bahwa mereka tidak terlampau banyak santuni pajak pada negara. Saya anggap itu tidak signifikan sebab saya rasakan begitu ketika melihat rekening bank pribadi. Kondisi keuangan saya tak ada hubungannya dengan pekerjaan sehari-hari mengurusi aset orang-orang berada. Seandainya pajak langsung dibagikan ke masyarakat saja, tidak melalui pemerintah, mungkin saya sudah jadi wirausaha muda tulang punggung bangsa sehingga kelak diundang ke acara talkshow yang rutin suguhkan etalase sukses tanpa turut hidangkan bergelas-gelas darah dan keringat yang ketinggalan dari masa lalu orang sukses.
Saya harus terus berlari. Berlari. Agar aliran darah dan gelombang asa tak lagi tinggi. Sampai tiba waktunya untuk mati. Tapi, kurasa itu nanti. Cinta? Apalagi, nanti, nanti. Nanti.
Setiap berlari pada Minggu pagi aku berusaha untuk melupakannya. Tapi meski secara geografis kini ia jauh dan sudah pernah menyatakan bahwa tak lagi mencintaiku — sepertinya ia lupa memasang cinta ketika bercinta denganku pada hari-hari lalu — aku masih saja memikirkannya. Padahal setelah kupikir, apa istimewanya lelaki itu. Karierku di kantor lebih bagus, aku tidak terlalu terburu-buru mencari uang untuk orangtuaku seperti halnya dia pada orangtuanya karena kedua orangtuaku yang selalu bahagia dengan perusahaan milik mereka tak butuh uang dariku. Kami memang jauh berbeda perihal remeh temeh semacam makanan kegemaran, kegiatan yang disukai, penulis favorit yang pantas meraih Pulitzer, dan kuakui, Tuhan kami pun berbeda.
Yang paling bikin sesal, mengapa ia seakan baru menyadari itu setelah lima tahun? Kupikir suatu saat, seiring waktu berlalu dalam hubungan kami, ia akan mengalah atau aku sendiri yang mengalah untuk menyembah Tuhanku atau Tuhannya. Kupikir Tuhan itu hanya ada satu. Manusia saja yang terlalu kreatif menempuh jalan yang berbeda-beda menuju berkat-Nya, sebab manusia tampak tidak terlalu senang untuk sama dengan sesama, bukan? Ibuku saja tidak terlalu senang jika datang ke pesta pernikahan, ada orang yang mengenakan gaun sama model dan warna, padahal tak apa bukan karena sama-sama menghadiri pesta kerabat atau relasi yang sama? Sayangnya, setelah bertahun-tahun kulalui dengannya berdua, sesudah kuserahkan segala yang kupunya padanya dan kupikir perasaannya telah lebih dari puas dan bahagia, ia lebih memilih Tuhannya daripada aku.
Aku berlari setiap Minggu pagi supaya setidaknya ada alasan untuk tidak pergi beribadah seperti yang rutin kulakukan sejak aku lima tahun menjadi pelayan Tuhan. Aku memang sudah tidak lagi serumah dengan orangtuaku sehingga tak perlu lagi pura-pura demam untuk bolos beribadah. Terus melarikan diri dari jejak-jejakku yang tertinggal pada lintasan berlari kompleks ini dan jelujur memori membuat jiwaku lebih tenang.
Sesekali aku berhenti mengamati pohon yang daunnya keberatan menadah hujan semalam. Orang-orang lain yang berlari lebih cepat daripadaku, yang berkostum lebih hebat dari atlet. Aku tidak terlalu kelelahan menyusuri jarak lebih dari lima kilometer sebab aku ingin pergi jauh dari itu; dari kenangan-kenangan yang tidak seharusnya penting untuk kukenang dan kuumbar sekarang, sebab pekerjaan masih banyak yang belum terselesaikan.
Sudah tiga kali hari Minggu aku berpapasan dengan lelaki berkaus biru langit dengan perawakan tidak terlalu tinggi, jauh dari kesan atletis, bahkan kurasa aku sedikit lebih tinggi. Setiap berpapasan, ia selalu menyempatkan untuk melirik padaku. Tak lebih dari dua detik, sehabis itu selesai, kami selalu berlari berlawanan arah. Mungkin karena dia pergi berlari lebih pagi dariku yang bertekad untuk bangun pagi cukup pada Senin sampai Jumat saja.
“Hai.”
Tak biasanya di tempat ini, pada zaman segegas ini ada orang yang menyapaku selain di media sosial. Ternyata lelaki itu. Pagi ini, ia masih mengenakan kaus katun biru berlogo brand olahraga asal Amerika, membalut tubuhnya yang tidak proporsional, namun kali ini aku tidak sedang berpapasan dengannya seperti Minggu kemarin-kemarin.
Pagi ini saya mengenakan kaus yang sama seperti Minggu pagi biasanya. Selain karena tidak ada kaus lain yang dapat saya pamerkan ke setiap orang yang berpapasan dengan saya untuk menaikkan derajat yang sudah telanjur jatuh oleh disrupsi, kali ini saya ingin coba sapa perempuan yang beberapa kali berpapasan dengan saya, harap ia tak terlalu asing dengan orang yang menyapanya.
Kali ini saya memang berangkat lari lebih siang dari tiga, atau empat, saya tak mungkin lupa, ya, lima Minggu belakangan yang selalu sangat pagi — atau lebih tepat saya katakan subuh, karena saya tak terlalu suka bertemu wajah-wajah orang asing yang mesti kulewati setiap langkah. Namun beberapa Minggu ini, saya selalu melihat dan berpapasan dengan perempuan yang tak terlalu asing bagi saya. Bukan berarti dia adalah teman saya karena saya merasa tidak punya teman di sini, melainkan ia akrab dalam pikiran saya. Beberapa kali berpapasan dengannya, ia lebih intim memenuhi kepala saya yang akhir-akhir ini lebih kerap memikirkan masa depan, dan kini saya bersyukur, ada orang pada masa kini yang hadir dalam benak saya.
Setiap berpapasan dengannya, saya ingin menunjukkan dapat kuat berlari lebih dari sekadar lima kilometer. Berlari sedikit lebih cepat untuk dapat lekas rasakan momen saat berlintasan dengannya, memperlambat langkah sejenak agar dapat melirik perempuan berambut sebahu itu, dan sekilas ia pun membalas lirikan saya.
Kali ini saya sengaja berangkat dari rumah lebih siang. Ternyata dugaan saya tepat, mungkin ia orang yang rutin, sehingga selalu datang pada waktu yang sama setiap Minggu pagi. Sebenarnya saya orang yang penakut untuk berkenalan dengan orang asing terlebih perempuan, namun kali ini saya merasa perlu untuk menyapanya. Oh, bukan perlu, ingin mungkin lebih tepat.
“Selalu lari jam segini, ya?” sapa saya.
“Iya. Kamu, biasanya sudah berlari pulang, ya?”
Saya sudah tak lagi peduli andai ia piawai membaca bahasa tubuh, tapi apakah mungkin? “Oh, suka melihat saya?”
Ia mengangguk. Melepas headset dari telinga yang tertangkup rambut pendek ikal yang terbelah acak. Merapikannya ke dalam saku celana pendek olahraganya. Berjalan dengan langkah lebih pendek, menyerasikan dengan langkah saya yang memang saya akui tubuh saya lebih pendek darinya.
“Kalau memang saya mengganggu, pakai saja lagi,” mata saya menuding saku celananya. “Saya cuma ingin menyapa. Aneh kalau beberapa kali berpapasan, kita tak saling kenal. Saling sapa pun tidak.”
Perempuan itu tersenyum. “Kita lari saja. Sama-sama.”
“Ayo.”
Sudah beberapa Minggu pagi, aku tak lagi berlari bertemankan headset yang menyalurkan suara Joan Baez berulang-ulang dari gawaiku. Lelaki berkaus biru itu kini selalu datang ke sini lebih siang daripada dulu. Sama seperti kebiasaanku datang untuk berlari. Lambat laun aku terbiasa mendengar suaranya yang berat dan bagai ragu-ragu membebaskan diri dari belitan mulutnya, sehingga aku tak lagi ragu berlari dengannya.
Dua minggu lalu, saat sedang berlari sejajar dengannya, ia menggamit jemariku. Mula-mula longgar meragu, lambat-laun semakin erat. Aku tak merasa perlu untuk melepasnya. Kubiarkan tangan kami begitu hingga kami sama-sama kelelahan berlari dan memutuskan tanpa kata-kata untuk duduk berdua meregangkan kaki di atas rumput basah. Kurasakan kepalaku mencium kausnya yang basah saat bersandar pada bahunya, dan tanganku begitu berat, enggan kulepas dari genggamnya.
Kami lanjut berlari sampai jembatan ketiga, berdiri berendengan di balik terali pagar jembatan, menonton aliran malas sungai dangkal yang lebih luas pematang tempat tumbuhan liar merajalela daripada lebar sungai. Sama-sama menghirup napas dalam-dalam, memandang langit pagi, usainya kami terjerat sedang sama-sama saling pandang, padahal kami sungguh tak pernah bersepakat sebelumnya. Dan kami berjalan pulang, sesekali ia berlari dan aku mengikuti, terkadang ia tampak letih dan aku turut berjalan mengiringi.
Kuharap, Tuhanku sama dengan Tuhannya.[]
Bandung, Oktober 2016
Cepy Hidayaturrahman