Membuat Komik

Cepy Hidayaturrahman
3 min readAug 31, 2020
Usia Menua Seiring Tekanan yang Mengada-ada (komik/kartun @keluarrumahproject)

Komik adalah cinta pertama saya ke dunia literasi. Pemantik rasa penasaran saya ke dunia literasi bukanlah Gabriel Garcia Marquez, Albert Camus, Yasunari Kawabata, atau Ernest Hemingway yang sudah galib jadi jawaban pencitraan ketika ditanya, “Siapa influence kamu dalam berkarya?”. Dia adalah Momoko Sakura, pencipta Chibi Maruko Chan.

Chibi Maruko Chan adalah komik atau anime Jepang yang cenderung disukai oleh perempuan. Teman-teman laki-laki saya tentu lebih suka Dragon Ball-Z, Kungfu Boy, Slam Dunk, hingga belakangan Naruto dan One Piece yang bisa dibilang maskulin.

Jujur, saya suka juga dengan komik-komik tersebut, tetapi saya merasa terganggu ketika ada orang yang fanatik dengan suatu hal dan menganggap orang yang tidak menyukai hal yang sama didaulat sebagai orang yang payah dan “gak laki lo!”. Itulah yang kerap terjadi pada fans-fans komik militan yang saya sebut barusan. Padahal, yang namanya selera ya tidak harus diseragamkan berdasarkan gender. Selera dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, ragam referensi, dan proses pembelajaran tanpa henti.

Seperti komik Chibi Maruko Chan yang masih menghantui dan menjadi salah satu inspirasi saya sampai sekarang. Dengan teknik gambar yang sederhana, tidak realis, lucu juga tidak bisa dibilang selucu Crayon Sinchan, namun entah kenapa komik tersebut begitu membekas di hati saya.

Terutama dengan salah satu bagian cerita, saya lupa di komik jilid nomor berapa, yang menceritakan tokoh Maruko sudah dewasa; bekerja, berkuliah dengan biaya sendiri, dan proses perjalanan bertemu dengan jodohnya, sementara ibunya sudah di jelang usia senja, dan kakek-nenek sudah meninggal.

Saya tilik-tilik, secara teknis gambar pada komik Maruko ini memang tidak realis, bahkan ada segelintir orang yang bilang “gambarnya asal-asalan, kayak anak tk”, tetapi bagi saya ceritanya terasa dekat dengan keseharian, dekat dengan kenyataan.

Maruko digambarkan berasal dari keluarga menengah ke bawah di Jepang yang kemampuan ekonomi keluarganya pas-pasan. Tecermin dari karakter ibunya yang perhitungan dan terkadang mata duitan, tokoh ayah pengangguran yang kerjanya minum sake melulu, hingga tokoh kakek dan nenek yang tinggal serumah; merepresentasikan keluarga Maruko bisa dikategorikan Sandwich Generation.

Lantaran cenderung menyukai tipikal komik-komik seperti Chibi Maruko Chan, Crayon Sinchan, Kariage Kun, dan Kobo Chan, sehingga kalau saya disuruh memilih antara teknik penceritaan atau teknik gambar tingkat tinggi dalam sebuah karya komik, saya lebih memilih cerita. Porsinya mungkin 70:30 lah. Mengapa?

Saya mengamati geliat komik-komik lokal dan serial animasi lokal yang sebenarnya sudah cukup lama menghiasi televisi, media cetak, hingga kini media sosial. Banyak sekali kreator komik atau animator yang skill menggambarnya bisa dibilang tak kalah dibanding kreator dari negara maju. Hasilnya sangat realis, keren, dan mereka cerdik menyiasati keterbatasan resource teknologi animasi yang mahal dengan perangkat seadanya.

Namun, mengapa malah Upin-Ipin; serial animasi dari negeri tetangga yang sudah lebih dari satu dekade silam menemani anak-anak Indonesia, yang berhasil merebut perhatian anak-anak saat itu, termasuk anak saya kini yang baru berusia dua tahun?

Saya melihat keunggulan Upin-Ipin adalah penokohan yang kuat, cerita yang kuat dan tidak dibuat-buat. Kalau storyline-nya lucu, kreator di balik layarnya tidak berusaha untuk “melucu”; sehingga kesan yang saya tangkap kelucuannya pun tidak terasa dibuat-buat, apalagi memaksakan dengan joke plesetan dan joke tebak-tebakan kemudian di ujungnya dikasih efek suara orang ketawa.

Jikapun terdapat sebuah episode Upin-Ipin yang memotret cerita haru, itu pun tidak mereka kemas secara melodramatik berlebihan seperti sinetron, sebaliknya, terkesan natural di benak anak-anak dan orang dewasa, dan kita sebagai penonton dapat merasakan itu adalah cerita mengharukan meski tanpa air mata berlebihan dari tokoh-tokoh rekaannya.

Saya tidak tahu apa akar masalah dari cerita komik atau animasi lokal yang terasa kurang kuat di benak anak-anak. Apakah bentuk dari kompromi dengan produser? Bentuk kompromi dengan keterbatasan teknologi? Atau memang budaya membaca di sini memang masih minim, sehingga memengaruhi ide-ide cerita komik lokal yang sulit diolah menjadi lebih dalam dan kerap dianggap berat, karena target audience-nya pun dianggap tidak bisa dirangsang untuk berpikir yang konon katanya berat-berat?

Semoga tidak.[]

Saya sedang belajar membuat komik dengan skill gambar seadanya di akun Instagram @keluarrumahproject. Jika ada waktu, bolehlah main-main ke sana, dan boleh juga memberi saran dan kritik. Tapi, tentu saja saya lebih suka likes dan share hahaha.. Thank you sudah membaca tulisan ini, ya.

--

--

Cepy Hidayaturrahman

Paid Media Strategist | Facebook Ads Specialist | Google Ads Strategist | Lead Generation | Performance Marketing Specialist