Manusia yang Akan Selalu Sama
Kampung halaman, boleh jadi, hanya tinggal kenangan berupa rumah kosong yang ditinggalkan karena satu per satu keluarga sudah meninggal atau satu, dua, lain-lain hal. Satu-satunya yang dengan mudah dan sungguh meaningful dapat dibawa serta diaplikasikan dalam keseharian adalah wisdom; nilai-nilai luhur yang diajarkan, ditanamkan sejak kecil oleh para pendahulu kita.
Tapi untuk bisa memahami secara holistik terkait wisdom-wisdom tersebut, gak mudah. Gak bakalan kepikiran lah kayaknya sama orang-orang yang seseharinya sibuk berkarier dan berbisnis mah, terlebih di era riuh kini, era ajang joget seksi-seksian (bagi yang good looking) & ancur-ancuran (bagi yang kurang good looking) di platform Tiktok. Saya pun, kasarnya, “harus resign dulu” baru ngeh dan memahami esensi hidup ini untuk apa secara jernih tanpa pretensi dari siapa pun dari korporasi mana pun yang mengikat, dan sepertinya, wisdom leluhur kita masing-masing bakal relevan dan dapat diterapkan di era apa pun, kapan pun, di mana pun.
Terkait wisdom leluhur yang baru saya sadari itu applicable di mana pun kapan pun, saya sudah membahasnya di podcast Keluar Rumah Eps. 27: “Filosofi Si Kabayan dalam Keseharian”, selengkapnya klik tautan ini.
Sebuah kewajaran jika seseorang malah lebih menyukai hal-hal yang sama sekali baru di luar kehidupan yang sebelumnya ia alami, jelema mah nya emang kitu, gengsian, hayangna ngasaan wae barang anyar, suasana anyar, jeung nyobaan elemen-elemen duniawi herang-herang tur serab sajabana. Misal; menganggap “Minimalist Life” atau “Decluttering” ala Marie Kondo sebagai hal yang: “OMG, it’s so edgy! Seketika hidup gw terasa lebih baik!”
Padahal sih, coba pikir lagi, saya ngerasa: “Lah, gaya hidup minimalis gitu mah jaman aing ngekos di Cibitung baheula ge udah aing lakuin! Itu mah prinsip HIDUP HEMAT dan hidup apa adanya bukan ada apanya ALA ANAK KOS YANG MERANTAU di urban/suburban karena ya emang penghasilannya masih pas-pasan!”
Dikarenakan Ruang dan Waktu sudah disesaki oleh rutinitas yang harus ditunaikan tuntas setiap harinya, sering kali kita melewatkan hal-hal esensial dalam kehidupan yang sebenarnya sudah tertanam dalam benak tapi entah kenapa secara naluriah kita selalu mengelak, ditanamkan oleh orangtua, kakek-nenek, guru-dosen, lingkungan, tapi gimana lagi, jika kita tak benar-benar sadar, hidup itu seolah linear gitu aja; bergulir maju terus ke depan, sudah, lupakan masa lalu yang kelam, cukup fokus hadapi saja masa depan yang akan gilang-gemilang. Padahal…
Padahal, hidup boleh kok maju mundur. Berlari hari ini, besok berjalan santai. Berjalan mendaki meniti tanjakan lusa, namun ada kalanya kita suka tidak suka harus turun mudun ka lebak. Rehat dulu kalo capek, ngampar samak di bawah pohon rindang, murak timbel, menikmati nasi pulen bersama tahu tempe+sambel terasi.
Memang, dinamika dunia terasa makin gegas, gak ada ampun, yang lelet seolah-olah tak masuk hitungan. Dunia terasa makin canggih, dunia makin “semua hal itu mungkin, tak ada yg mustahil”.
Tapi, entahlah, saya percaya bahwa karakter, pola pikir, wisdom manusia mah dari dulu ya gitu-gitu aja, sami mawon. Hasil karya dan karsanya saja yang beda-beda, menyelaraskan warna dan dinamika zaman yang dilalui oleh masing-masing individu. Selebihnya sama, kita hanya manusia yang tak sempurna namun entah kenapa ingin selalu terlihat sempurna.[]
Pertama kali diunggah pada akun Facebook personal saya: Cepy Hidayaturrahman. Diterbitkan kembali di blog ini dan di akun Instagram @keluarrumahproject dengan beberapa penyesuaian.