Ketika Millenial dan Centennial Mulai Jenuh Dieksploitasi
Sebagai generasi millenial, apakah kamu termasuk yang risih, eneg sebab dua tahun belakangan generasi millenial sering sekali di-mention, digoreng (sampai hangus) oleh korporasi-korporasi, brand-brand artisan, bahkan pemerintah pun sekarang ikut-ikutan bersuara dengan warna yang mereka anggap sebagai “suara millenial”?
Saya sudah di level kepengin menghapus kata millenial dari kamus.
Sejak empat tahun lalu saya sudah kepikiran bakal begini, tapi ya gak ambil pusing. Dan sekarang millenial sudah seperti diksi wajib untuk disisipkan pada headline, tagline, hingga tajuk acara korporasi dan instansi. “Millenial On The Road”, “Cerdas Finansial untuk Keluarga Millenial”, “KPR Millenial”, “Rekening Bank Millenial”, “Tempat Nongkrong Millenial”, “7 Tips Berpakaian untuk Millenial”, “Desain Rumah Millenial”, saya yakin masih banyak sekali millenial-millenial lain yang dipaksa disusupkan ke dalam tajuk.
Dari yang dahulu dikatai-katai sebagai generasi galau, mengapa sekarang betapa gurihnya generasi kami dieksploitasi oleh organisasi rigid macam korporasi yang usianya sudah puluhan tahun bahkan oleh instansi pemerintah, bahkan instansi militer! Ya, melalui akun media sosialnya yang mencitrakan instansi militer mereka seakan-akan selalu satu frekuensi dengan suguhan-suguhan konten bernuansa millenial setiap waktu!
Angka. Jumlah. Uang.
Suka tidak suka, realitanya pebisnis atau pejabat butuh angka-angka kuantitatif dalam data-data demografi. Usia (data yang sangat valid untuk mendeteksi keberadaan millenial), jenis pekerjaan, tempat tinggal, status pernikahan, agama, suku, begitu mudah diraup oleh analis-analis amatir sekalipun di kolam-kolam daring.
Kesimpulan dari kebanyakan riset pasar, persentase millenial di Indonesia sudah mencapai lebih dari 60 persen dari total populasi, sehingga siapa sih yang tidak mau dan siapa yang rela kehilangan kesempatan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari kocek generasi kami yang kenyataannya sih pas-pasan tapi kami tergolong royal membelanjakan penghasilan kami untuk kebutuhan-kebutuhan tersier lantaran selera berdasarkan referensi kami yang kaya ini tergolong tinggi dibanding generasi sebelum kami?
Tak heran setiap presiden berpidato, isinya seolah-olah haram kalau tidak me-mention millenial, menyebut kata kreatif dan inovatif. Padahal sih, bukankah kreativitas dan inovasi itu adalah usaha-usaha yang juga dilakukan oleh generasi-generasi jauh dari generasi millenial? Era renaissance, bahkan era manusia purba yang sudah berkomunikasi secara visual di dinding-dinding goa? Kenapa sih millenial saat ini diperlakukan sebagai generasi yang paling dirangkul, apa saja mau kami langsung mereka respons, apa saja kebutuhan kami yang random itu dalam waktu singkat langsung diakomodasi?
Sekali lagi, ya, uang yang bermain. Mereka, korporasi dan instansi-instansi, jelas tidak mau kehilangan kue 60 persen lebih populasi Indonesia agar kami terus loyal dan royal membeli jualan-jualan mereka. Lupakan saja generasi tua, toh sudah banyak yang meninggal, katanya, fokus saja ke generasi yang menguasai 60 persen lebih populasi ini.
Namun, apa benar cara memperlakukan (apa sih padanan kata paling pas dari treatment?) kami tuh seperti yang sekarang sering dilakukan mereka? Perusahaan taksi sampai-sampai harus membuat konten visual dengan konsep karyawan tua dan muda menyilangkan tangan di dada, dengan tujuan memikat hati para millenial yang katanya peduli pada isu-isu kemanusiaan? Suatu instansi sampai-sampai harus membuat acara “Millenial Safety Road” agar generasi millenial ikut peduli isu tertib berlalu lintas?
Siang tadi saya membaca artikel Forbes yang membahas bahwa sudah tidak relevan lagi bagi instansi dan korporasi untuk sekadar menyandarkan strategi marketing pada data demografi, lantaran sekarang selera pasar begitu sukar dibaca apalagi diprediksi. Jangankan membaca perilaku dari satu generasi yang sama, perilaku orang-orang yang lahir di tahun kelahiran yang sama saja, interest-nya sudah berbeda-beda, dan dari masing-masing variasi itu interest kita cenderung kian mengerucut.
Sekarang sudah tidak relevan lagi membagi rata selera atau interest market berdasarkan demografi, misal usia (generasi yang diklasifikasikan), tempat tinggal (kota besar atau di desa) dan kemampuan finansial.
Sebab informasi, konten, ilmu pengetahuan sudah jauh menerabas batas-batas geografis dan demografis. Tua-muda, mau tinggal di kota atau di desa, sama-sama menyesaki bioskop untuk menonton Avengers: End Game di tahun ini. Tua-muda sama-sama berlangganan Spotify premium. Tua-muda sama-sama mengenakan sepatu Vans. Tua-muda sama-sama follow Jouska. Orang kaya baru di kota besar ternyata selera musiknya super alay dibanding orang kampung lulusan SMP anak petani yang bermukim di pelosok Jember yang karyanya mendunia melalui internet.
Gejala-gejala barusan sering mengusik keseharian saya. Generasi tua menolak tua dengan terus memperbaharui tren-tren fashion terkini, tempat-tempat makan catchy terkini, hingga tak ingin kalah dalam perkara meriuhkan percakapan di media sosial, bahkan kerap jauh lebih berisik dan “berenergi” dibandingkan generasi kami yang secara usia seharusnya tampil muda dan energik.
Yang saya rasakan kini generasi muda kebanyakan sudah jengah dengan kelakuan orang tua yang sok muda. Generasi kami sudah lelah didikte oleh mereka di dunia nyata, eh nyatanya di dunia maya kami masih saja diintai kemudian apa yang kami lakukan tak lepas dari kenyinyiran mereka. Mimpi-mimpi kami mereka patahkan sejak di dunia maya, sebelum menjadi kenyataan.
Kampretnya, generasi tua itu, hasratnya begitu ambisius untuk mendorong-dorong kami yang sebetulnya sudah luber (baca: muak) oleh banjirnya informasi-informasi, dan mereka bilang kami harus senantiasa haus dalam mengikuti arus informasi dan tren yang seringkali tidak kami butuhkan sebab ujung-ujungnya kami bekerja di instansi dan korporasi generasi X di mana keahlian dan pengetahuan kami cuma terpakai 1 persen saja; 99 persen sisanya regulasi.
Pada akhirnya saya lelah dan jengah dengan eksploitasi ini. Hati kecil berkata, the good old days.[]