Jujur Berkarya itu Nyata atau Hanya Utopia?
Sebagai pekarya, mungkin di antara Anda sering dipusingkan dengan jargon “Jujur dalam Berkarya”, yang biasa disuarakan oleh para penulis, pelukis, ilustrator, atau pekerja seni lain yang sudah masyhur.
Sebenarnya, maksud dari “Jujur Berkarya” ini apa? Memangnya ada karya yang “tidak jujur”?
Jika berkarya harus dilandasi oleh kejujuran, apakah mengandung pesan bahwa setiap karya yang kita ciptakan itu harus faktual; dengan mengambil inspirasi dari kehidupan dan pengalaman nyata yang kita alami?
Hasil penelusuran dunia maya, saya menemukan beberapa pandangan terkait “Jujur dalam Berkarya”. Menurut Sudjojono, maestro lukis Indonesia, seorang seniman tidak boleh berpura-pura dalam menciptakan sebuah karya. “Sebab kalau pura-pura, hasilnya akan artifisial,” ungkapnya.
Dalam konteks membuat karya berupa teks atau tulisan, ada beberapa pandangan yang menafsirkan bahwa “Jujur dalam Berkarya” sebagai: Tulislah hal-hal yang benar-benar bisa kita lakukan, bukan justru menuliskan apa-apa yang orang lain lakukan seolah-olah menjadi kelakuan kita.
Adapun saya sendiri, baik dalam menulis fiksi, esai, ulasan produk, ulasan destinasi wisata atau kuliner, maupun dalam menciptakan hasil kerja desain sebagai Desainer Grafis, yang anggap saja masih dalam rumpun kesenian, lebih condong pada prinsipnya Sting, penyanyi yang juga eks personel band The Police, perihal “Jujur dalam Berkarya”.
Sting mengungkap, “Tak semua karya saya personal. Tetapi, sudah merupakan tugas saya untuk menyulap rerupa hal atau keresahan yang saya potret di sekitar menjadi terasa personal, dan terkesan seolah-olah saya sendiri yang mengalami sendiri kejadian-kejadian tersebut.”
Begitu menyimak pernyataan Sting tersebut beberapa tahun silam, seketika saya tercerahkan! Sebelumnya, saya sempat terjebak dalam kekeliruan penafsiran perihal kejujuran dalam berkarya. Selama ini yang saya tangkap, jujur berkarya sebagai arti harfiah; yaitu mengungkap gejala-gejala di sekitar saya secara mentah ke dalam sebuah karya. Padahal, bila kita anggap karya sebagai makanan, apakah enak jika kita menyantap makanan mentah yang belum diolah, atau bahkan belum higienis dari kuman dan bakteri yang kemungkinan dapat berakibat fatal terhadap para pengonsumsinya?
Usai itu, saya cerna kembali, hanya orang gila yang menumpahkan semua pengalaman atau kepahitan hidup ke dalam karya secara mentah-mentah. Terlebih jika hal tersebut ternyata ditujukan sebatas untuk ketenaran, berupa angka-angka likes, share, subscribers, followers, hingga diundang ke podcast Deddy Corbuzier?
Fenomena demikian kerap saya lihat di berbagai kanal media sosial, terutama Youtube yang memang cocok untuk mengekspos kehidupan manusia secara utuh karena berkarakteristik audio-visual, di mana kehidupan pribadi sudah jamak disuguhkan sebagai konsumsi publik dengan tujuan mengeruk “cuan” dan ketenaran.
Bukan hal aneh jika suatu waktu, banyak pemain-pemain media sosial dengan perilaku tak bertanggung jawab sedemikian, sekalinya diungkap borok-boroknya oleh orang yang sentimen dan akhirnya menemukan momen yang tepat untuk spill segenap keburukannya, dalam sekejap, reputasi mereka yang menurut mereka sudah dibangun secara susah payah, hancur lebur.
Pada akhirnya, saya pun menemukan pemahaman sendiri perihal prinsip “Jujur dalam Berkarya” ini.
Pertama, dalam membuat karya apa pun, sebelumnya kita harus mengetahui dan memahami segala rupa terkait hal apa yang akan saya ciptakan. Saya harus tahu batas-batas, atau limitasi yang harus ditanyakan kepada diri sendiri, karena masing-masing mempunyai batas-batas yang berbeda, bergantung pada nilai-nilai luhur yang dianut, latar belakang pendidikan, pengalaman traumatis, atau sebatas selera “suka atau tidak suka”.
Di sinilah barangkali esensi dari “Jujur dalam Berkarya”; kejujuran dalam mengelaborasi pengetahuan, wawasan, atau menerjemahkan pengalaman yang kita alami atau pengalaman orang lain yang benar-benar sudah kita ketahui betul. Tidak sok tahu, tidak sok pintar, tidak sok keren.
Kedua, fokus ke tujuan. Khususnya terhadap objektif yang ingin dicapai. Apakah tujuannya adalah peningkatan penjualan? Atau awareness? Atau tujuannya ingin membuat orang merasa: senang, tertawa, kagum, orang berkata “brengsek!”, sedih, kesal, dan sebagainya.
Dengan berfokus ke tujuan utama, kita tak usah ambil pusing lagi dengan bisikan atau omongan orang-orang, misal:
“Halah, plagiat aja bangga!”
Atau,
“Ini tulisan kok berat amat, ya? Penulisnya sok ndakik-ndakik! Bisa gak sih yang nulis ini pake bahasa sehari-hari aja gitu, dasar sok intelek! Penulisnya terobsesi jadi Ivan Lanin apa nih?”
Atau,
“Ah, elah. Gini doang mah gua juga bisa!”
Kita tak usah ambil pusing lagi dengan apa yang orang lain katakan, sebab kita sudah punya landasan pemikiran yang matang, yang sudah sinkron pula dengan tujuan utama yang hendak dicapai. Bukan ditujukan untuk “keren-kerenan”, atau bentuk pengakuan-pengakuan lain.
Perkara “keren-kerenan” ini, jika kita masih terjebak dalam tujuan trying to be; ingin dianggap keren, ingin dianggap jago, ingin dianggap kaya, ingin dianggap terkenal, mungkin artinya kita belum jujur dalam berkarya. Dan mungkin juga kita belum menerima karunia hidup ini apa adanya.
Dengan demikian, sepertinya kita harus mawas diri dalam membangun personal branding atau citra diri, baik di dunia nyata pun di dunia maya. Kejadian-kejadian di media sosial belakangan ini, individu dan institusi “palsu” yang menjual keresahan (fear mongering) demi kepentingan ketenaran hingga profit, satu per satu bertumbangan, sebab orang sudah mulai sadar bahwa mereka ternyata “berpura-pura” dengan cara “sok keren”, “sok peduli” dan “sok relate”.
Sebagai penutup, selaras dengan pendapat-pendapat di atas perihal “Jujur dalam Berkarya”, Aristoteles mendefinisikan seni sebagai: kemampuan membuat sesuatu dalam hubungannya dengan upaya mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan oleh gagasan tertentu.
Jika boleh saya ringkas dan simpulkan, “Jujur dalam Berkarya” adalah upaya bersetia pada gagasan, bukan ditujukan untuk mengejar pujian, terlebih pengakuan.
Jadi sepertinya, “Jujur Berkarya” itu tidak utopia, selama kita tahu tujuan mau bikin karya untuk apa?[]
Pertama kali diunggah pada Instagram Story yang dikelola oleh saya di @keluarrumahproject. Diterbitkan kembali di blog ini dengan beberapa penyesuaian.