Dilatasi Waktu
Hari Minggu kemarin saya memutuskan untuk seharian di rumah, karena Sabtu sudah seharian di luar, panas-panasan menerabas terik yang katanya bakalan berlangsung sampai delapan hari ke depan.
Seharian itu saya habiskan jelajahi Youtube, entah energi apa yang menggiring saya untuk lagi-lagi mencari tentang topik dilatasi waktu, perjalanan waktu. Ya, sampai sekarang saya masih tergila-gila sama Interstellar. Dan masih bertanya-tanya, masih mungkinkah manusia menghentikan waktu untuk sekadar bersantai sehingga waktu rehat tidak akan menggerogoti waktu-waktu produktif yang cepatnya minta ampun itu.
Atau malahan manusia bisa benar-benar kembali ke masa lalu untuk mengubah keputusan yang kita ambil dulu, atau melesat ke masa depan untuk mengintip akankah kita menjadi entrepreneur sukses yang kelak menyejajari Hartono Brothers, menghadiri wisuda anak di Harvard, kemudian mati bahagia meninggalkan harta yang cukup untuk tujuh turunan, lalu masuk surga?
Sayangnya, video-video terkait dilatasi waktu yang juga erat dengan teori relativitas itu tidak ada yang gamblang menjawab apakah kita sungguh bisa melakukan perjalanan waktu, atau sekadar menghentikan waktu.
Kabar baiknya, tanpa melakukan perjalanan waktu, kita sebenarnya bisa saja melakukannya tanpa harus repot-repot menciptakan mesin waktu. Karena sekali lagi, waktu bersifat relatif. Einstein bilang, kalau tangan kita dibakar di atas api walaupun hanya dalam waktu satu menit, masa-masa itu akan serasa satu abad.
Lain hal ketika kita sedang berlibur menghabiskan waktu bersama keluarga ke luar kota selama satu bulan penuh pun, tetap saja rasanya baru kemarin kita berkemas, berangkat, eh, nyatanya malam itu sudah harus kembali pulang dan kembali menjalani realita demi cicilan-cicilan dan tuntutan-tuntutan.
Konon, waktu adalah dimensi ke empat, dan kita adalah makhluk 3 dimensi. Dimensi yang merekam jejak-jejak kita lahir, tumbuh, bergerak maju, berubah, terjatuh, bangkit, tobat, kemudian kembali ke liang lahat dan menghadap kepada-Nya, tiada lain adalah waktu.
Dengan demikian, salah satu cara mempercepat waktu, mungkin hanya dapat dilakukan dengan terus menjalani aktivitas-aktivitas yang kita sukai dan yakini. Mencurahkan segenap hati untuk istri dan anak agar suatu hari tidak menyesal saat kita terpaksa meninggalkan atau bahkan ditinggalkan.
Waktu semacam versi animasi 4D dari diri kita dalam bentuk gumpal-gumpal lembaran hidup, yang mustahil dapat kita manipulasi apa-apa saja perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan seumur hidup dalam gumpalan-gumpalan itu: apakah amal lebih berat timbangannya dari dosa, atau sebaliknya?
Saya jadi sadar satu hal lain. Percuma saja manusia dikasih waktu untuk dapat hidup beribu-ribu tahun, kalau ia tidak tahu, tidak menyadari, bahwa ia harus rutin melukis amalan-amalan di atas lembar-lembar hidup di dunia seefektif mungkin.
Tidak masalah dikasih durasi singkat atau lama. Kali ini saya percaya, mengejar kualitas nyatanya jauh lebih logis ketimbang mengikuti kuantitas dalam menerabas batas-batas. Sebab sungguh, jatah kita terbatas.[]