Catatan Satu Setengah Tahun Menempuh Jalan Baru
Kalau dibilang mulus, gak juga.
Dibilang berat, gak juga sih.
Berat, ringan, kuncinya teruslah berjalan.
Namanya jalan, tetaplah jalan.
Ada jalan lurus, ada saatnya berbelok.
Ada tanjakan, ada turunan.
Ada jalanan semulus paha.. paha saya.
Ada juga jalan yang penuh duri dan tai.
Awal perjalanan: excited.
Bebas merdeka.
Wajar, namanya juga serasa keluar dari penjara; penjara budak korporat.
Barulah merasa “ewh” saat baru sebulan kemudian tahun lalu, ketemu gejala-gejala yang sama sekali baru. Gejala-gejala yang tidak bakal mungkin saya temui saat dulu semasih nyaman dalam buaian pekerjaan dengan titel “lulusan” Management Trainee.
Dan sialnya solusi atas gejala-gejala bajingan tersebut tidak bisa digoogling semudah “Tips menghadapi bos rese” atau “Tips menghindari lingkungan kerja toxic”.
Selama satu setengah tahun ini, saya lebih sering (lebih tepatnya terpaksa) untuk mengandalkan insting, intuisi, dan doa.
Sebab jika sekadar andalkan logika, seringkali tak berbuah apa-apa.
Satu hal yang baru sadari setelah menempuh perjalanan baru satu setengah tahun belakangan, dan kini semakin membuat saya sadar adalah:
Yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian.
Absurd bukan?
Ya, kalo kata Albert Camus, hidup ini memang absurd. Bahkan kenapa kita hidup di dunia ini saja adalah sebuah hal yang absurd, katanya. Sedikitnya, kini saya percaya dengan konsep absurdisme tersebut, setelah mengalami kemustahilan-kemustahilan hidup, baik yang manis atau pahit, yang ternyata tidak mustahil untuk sungguh terjadi jika Ia yang berkehendak.
Semua orang takut gagal? Saya juga.
Semua orang takut miskin? Saya juga.
Semua orang takut hilang daya tarik? Saya juga.
Semua orang ingin mencapai financial freedom? Saya juga.
Semua orang takut mati? Saya juga.
Terus, poinnya apa?
Poinnya adalah: hasrat, ketidakadilan, membuat hidup ini adil. Berlaku untuk semua orang. Tanpa terkecuali.
Selanjutnya: konsep kebahagiaan.
Sebagian besar orang, menganggap bahwa kebahagiaan erat hubungannya dengan kekayaan secara material. Yang konkret-konkret. Uang, perempuan, kendaraan, perhiasan, penguasaan lahan, dan lainnya.
Namun, entah kenapa, sedari kecil saya tak terlalu tertarik dengan kekayaan material. Ini bukan humble brag, tapi insting saya selalu menganggap bahwa kebahagiaan itu dari sudut pandang moril. Yang abstrak-abstrak.
Salah satunya, passion. Hasrat. Renjana.
Satu setengah tahun silam, saya pun akhirnya mendapat kesempatan untuk mengerjakan apa pun yang saya mau, sesuai passion saya, sesuai idealisme saya.
Setelah itu, apakah saya bahagia?
Oh, sayang sekali jawabannya adalah: tidak.
Di satu sisi, horison saya semakin luas sehingga dapat menyaksikan orang-orang baru dari berbagai latar belakang dan motif hidup yang luar biasa luas sekali spektrumnya.
Hingga pada satu titik, saya pun melupakan makna bahagia. Jika saya terus mencoba memaknai bahagia, yang saya temui justru derita dan kecewa.
Perjalanan baru ini lebih banyak menghadiahkan saya pengalaman spiritual ketimbang material. Terasa meditatif.
Dulu saya selalu mempertanyakan, “Ngapain sih bapak-bapak mancing, gak produktif! Emang dasar bapak-bapak gak punya passion, gak ada kerjaan bermanfaat di akhir pekan!”
Namun sekarang saya pikir-pikir lagi, eh, jangan-jangan saya yang kerjaannya erat kaitannya sama socmed dan internet juga mereka bilangnya saya gak ada kerjaan kali ya, kerja kok posting-posting di Facebook, Instagram, nulis (yang katanya “doang”), dan lain-lain yang menurut mereka gabut dan kerjanya koloran doang di rumah. Sama aja dong jadinya. Skor 1–1. Hidup memang maha adil.
Pada titik sekarang, saya pun menghormati jalan yang ditempuh orang lain sama baiknya dengan jalan yang saya tempuh. Tidak ada yang salah secara absolut. Dan tidak ada juga kebenaran yang mutlak.
Asalkan… tentu saja ada syaratnya dong, asalkan tidak merugikan orang lain, dan tidak mengusik ketenangan hidup orang lain. Jalan sendiri-sendiri aja yang anteng, sebab kompetisi rasanya bukanlah metafora yang tepat untuk hidup ini.
Perjalanan ya perjalanan. Yang penting sampai ke tujuan dengan waras, dengan selamat.[]
Bogor, 25 November 2021
CH