Apakah Mendesain dengan Canva Sehina Itu?
Semakin banyaknya varian mobile apps untuk mendesain “secara instan” semacam Canva, Picsart, Adobe Spark dan masih banyak varian aplikasi lainnya, sering kali rentan menimbulkan kekeliruan penafsiran bagi kalangan awam.
Saya sering mengalami, dan ternyata ada juga orang lain yang merasakan pengalaman serupa, sebagaimana terpotret oleh tangkapan layar seorang ilustrator lepas di linimasa Twitter, kurang lebih temannya bilang gini,
“Gak usah ribet-ribet, pake Canva aja. Jadi kasih harga murah, ya.”
Sampai saat ini, saya gak habis pikir. Canva kok disematin “aja”, seolah-olah kalau mendesain pakai Canva itu gampang, cetek, sehingga pantas dihargai murah bahkan mungkin seharusnya dikasih gratis saja, katanya.
Saya punya pemahaman personal terkait aplikasi desain yang konon dianggap instan itu, sebab katanya pengoperasiannya tidak sekompleks aplikasi desain mainstream di Indonesia semacam Corel Draw atau Adobe Illustrator, atau Adobe Photoshop.
Canva atau Picsart atau aplikasi desain lain yang dianggap instan oleh orang lain, bagi saya semacam bumbu instan Saori, Indofood, atau bumbu rendang Padang di pasar yg udah dikemas dalam sebungkus plastik per satu porsi sajian. Bumbu-bumbu itu sebelumnya sudah diracik secara massal, untuk kemudian siap dilebur dengan bahan masakan utama daging sapi, ayam dan ikan. Si pemasak tak usah repot-repot mengupas bawang, menyisihkan biji cabai, dan tak perlu lelah mengulek/memblender.
Setahu saya, kebanyakan mbak-mbak warung makan hingga kantin kantor meracik menu masakannya menggunakan bumbu-bumbu instan. Bagaimana dengan rasanya?
“Template,” ujar rekan kerja saya dulu.
Yah, menyantap ayam goreng di kantin kantor memang tak senikmat (atau gak bikin pengen meninggal, kalau kata selebgram) kita mengudap ayam goreng Suharti atau ayam goreng tepung McD.
Meskipun rasa makanannya konon template dan biasa saja, namun, apakah kamu berani dan apakah etis seandainya kamu bilang begini ke mbak-mbak kantin,
“Mbak, makan siangnya gratis, ya. Kan Mbak cuman pake bumbu Racik ayam goreng, dan capcaynya cuman pake Saori, kan?”
Sementara, pada siang itu, perut kamu sudah kenyang.
Mungkin Mbaknya bakalan jawab begini,
“WASYU KOWE! KOWE PIKIR MASAK CUKUP REBAHAN DOANG TERUS AYAM IDUP GRABAK-GRUBUK LANGSUNG MATENG GITU AJA DI PIRING KOWE? MASAK SENDIRI SANA!”
Mungkin bakalan banyak orang-orang yang mikir kayak gini,
“Ya harusnya kalo pake bumbu instan, pedagangnya tahu diri lah. Effort gak seberapa karena mereka gak perlu repot dan berlama-lama ngupas bawang, rempah dan gak usah capek-capek ngulek bumbu dari dini hari. Jadi kalo ngasih harga masakannya jangan mahal-mahal dong! Kayak mau naek haji aja.”
Menurut saya, belum tentu. Semuanya sangat relatif. Sesuatu yang pasti di dunia ini hanyalah ketidakpastian. *nape jadi sok asik gini*
Coba deh perhatikan lokasi keramaian, misal di JCC Senayan. Pernah gak sih kalian liat-liat stand makanan di sana? Saya pernah noleh, di stand-stand yang mangkal di teras JCC, sepiring nasi goreng dihargai Rp105ribu. Buset dah, itu nasi goreng harganya setara 10 kilogram beras premium di minimarket.
Saya yakin, rasanya gak bakal seenak nasi goreng lokalan abang-abang seharga Rp20ribu yang sudah terkenal enak dengan bumbunya yang khas di sekitar rumah kita.
Apakah nasi goreng di JCC itu bumbunya spesial banget dengan bahan baku rempah-rempah yang langsung dipetik, dijemur dan diimpor dari gurun Afrika dengan bea cukai yang nauzubileh mahal pisan amit-amit?
Enggak. Bisa jadi, malahan mereka pakai bumbu instan Kokita buat racikan nasi gorengnya, dan suwiran ayamnya pun pelit banget pasti, dikit doang. Ya biar modal mereka ketutup lah, tahu sendiri harga sewa di JCC pasti mahal amit-amit, belum persenan premannya.
Tapi mereka pintar memanfaatkan peluang: kejenuhan orang-orang yang lalu lalang di JCC, bosan menunggu sanak saudara yang wisuda sementara dia gak boleh masuk ke hall utama; orang-orang yang bosan ini lama-lama kelaparan, hari sudah melindap senja, tapi dari siang belum makan, gak dapet jatah konsumsi, gak dapet jatah makan siang dari panitia acara.
Kembali lagi ke aplikasi desain instan Canva, semua diserahkan kembali ke user atau klien. Apakah user rela menyajikan “menu masakannya” dibuat dengan bumbu-bumbu instan siap pakai, sehingga sangat besar kemungkinan “cita rasa” masakan yang diusung oleh mereka, bakalan serupa dengan warung makan sebelah? Sehingga produk yang mereka jual tidak mempunyai unique selling point?
Ya tapi gak gratisan juga kaleee. Anda nitip dibeliin makan siang sama OB aja Anda kasih tip kan OB-nya? Atau Anda tidak ngasih tip sama sekali walau cuma serebu dua rebu? Wah, kelas menengah macam apa Anda ini.
Bagaimanapun, template tetaplah template. Template memang sedari awal dibuat dengan tujuan untuk digunakan secara massal, bahkan oleh orang-orang awam yang tidak mahir “memasak”, sehingga mustahil memenuhi semua kebutuhan dengan tepat sasaran.
Pertanyaannya, apakah menu makan malam di meja makan rumah konglomerat Top 10 Indonesia macam Hartono Brother pakai bumbu instan Saori? Yang saya tahu, orang kaya itu sangat selektif perihal rasa. Seleranya sulit sekali ditebak. Kita, sebagai juru masak, mesti pandai-pandai bertanya, memahami keinginannya, legowo kalau dimarahin karena gagal paham melulu, yang terpenting tujuan akhirnya masih sejalan: menghasilkan makanan lezat sesuai selera Tuannya.
Maka dari itu, setiap hari, mereka butuh berkonsultasi dengan juru masak untuk dapat memuaskan selera mereka sehari-hari. Atau, taklah heran jika di dapur rumah mereka selama ini ternyata berjejer chef-chef pribadi demi cita rasa mereka yang sulit terjangkau oleh produk-produk massal.[]
Tulisan ini dikembangkan dari cuitan-cuitan berupa thread di akun Twitter saya sendiri, @cepyrahman_, dengan beberapa penyesuaian.