Adakah Fulus yang Tulus?

Cepy Hidayaturrahman
5 min readApr 2, 2021

Sepulang dari kerja praktik hari terakhir sore kemarin, saya langsung pulang, padahal ada piutang pertemuan satu mata kuliah, namun saya memutuskan untuk skip saja. Badan pegel-pegel, kepala pusing, otak semrawut mikirin hal-hal yang gak semestinya dipikirin.

Karena bosan melewati Cibinong, saya pilih melalui Sentul dan selanjutnya menembus jalan Kandang Roda. Selain bosan, alasan saya memilih jalan lain adalah menghindari kemacetan yang bengkak sepanjang Cibinong. Namun ternyata saya keliru. Sentul juga macet.

Dengan seliweran motor dan truk sebagai sekadar bumbu, antrean mobil pribadi mengular sekitar satu kilometer sebelum persimpangan Sirkuit Sentul. Di sana memang terdapat empat gerbang tol yang otomatis setiap saat memuntahkan mobil-mobil yang dibawa oleh orang-orang sibuk eight to five. Pendek kata, sama aja macet banget lewat Sentul juga.

Di tengah kemacetan, saya pandang sekilas wajah-wajah di balik kaca mobil yang kebetulan terbuka separuh. Kebanyakan sih kusut-kusut, mungkin bahagianya sudah habis pada pagi, siang, sejak lima hari kerja penuh waktu kemarin-kemarin.

Pengendara motor pun sama. Semuanya tampak ingin buru-buru sampai rumah; salip kanan, salip kiri, hampir menyerempet bodi mobil yang dikendarai wajah-wajah kusut itu.

Termasuk saya, mungkin, saya tergolong pengendara motor yang ingin lekas tiduran di rumah, menikmati suasana sendiri, benar-benar sendiri, setelah seharian selama lima hari kerja harus berinteraksi dan beramah-ramah dengan para manusia pekerja.

Apa sih yang yang bikin mereka rela bermacet-macet dari rumah ke tempat kerja, dan pulangnya pun sama macetnya? Tulus hati? Memang sudah panggilan jiwa? Bukan, sepertinya.

Duit. Fulus, bukan Tulus.

Hal satu ini dilema. Kita mengenal uang terlalu dini. Melihat pesawat melintas di atas tiang jemuran, kita diguyoni oleh orang-orang tua kita supaya minta dijatuhi uang kepada pesawat. Perkara disuruh-suruh pun, perlu disogok terlebih dahulu, misalnya: “Dek, beliin cabe satu ons ya, abis nih buat nyambel. Entar kembaliannya buat kamu jajan es krim.”

Di sekolah dasar. Supaya kita semangat belajar, kita disuguhi harapan akan masa depan oleh guru-guru kita. Rajin-rajinlah belajar, supaya kelak jadi dokter, pejabat, polisi, jenderal, insinyur, presiden bahkan. Pendek kata, biar kelak jadi orang, sabda mereka. Kalau sudah jadi orang, bakal banyak uang, kaya raya, rumah luas, mobil banyak, istri cantik, anak cucu sehat. Hidupmu pasti bahagia, anak-anak.

Menghadapi kemacetan di Sentul, dua ingatan tersebut saling bertayangan. Banyak juga yang berhasil mengaplikasikan titah guru-guru di masa kecil mereka. Profesi petani sudah selangka profesi tukang patri (tambal) panci. Semuanya memilih bekerja di ranah-ranah yang guru masa kecil mereka sebutkan. Aneka profesi yang berpotensi menelurkan uang lebih cepat agar dapat menikmati kehidupan impian yang diidam-idamkan dengan cepat.

Buat apa lebih cepat? Tentu harus cepat, sebab uang-uang itu untuk mencicil mobil yang mereka gunakan dari rumah (yang juga diperoleh melalui kredit KPR 20–25 tahun lamanya) ke kantor. Untuk belanja, kosmetik, arisan istrinya. Untuk liburan ke luar kota, padahal luar kota itu sama macetnya.

Untuk biaya les dan pendidikan anak-anaknya, di mana di sekolah masing-masing, kemungkinan besar anak-anak mereka pun sama; disuapi petuah-petuah yang sama dengan mereka: rajin-rajinlah belajar, supaya kelak jadi orang, banyak uang.

Tulisan ini sulit sekali saya lanjutkan, karena saya belum pernah berada pada posisi sangat kekurangan uang atau sebaliknya, setiap hari tidur berselimut uang.

Seandainya uang tak pernah diciptakan… dan sepertinya Tuhan memang tak pernah menciptakan makhluk bernama uang. Manusia yang menciptakan, mengedarkan, membelanjakan, memutarkan, memboroskan, memalsukan, menyelewengkan uang.

Barangkali jika sudah bosan, manusia akan memusnahkan uang. Menggantinya dengan batu akik bacan.[]

Bogor, 13 Desember 2014

6,5 tahun kemudian….

Wow, sumpah, kenapa waktu bergulir gak ada ampun! Kini saya mendapati diri saya sudah menjalani karier profesional pasca kuliah hampir 5 tahun dan masih berjalan sampai hari ini, sudah menjalani pernikahan yang pada tahun ini akan mencapai usia 4 tahun, dan sudah diberkahi anak usia 3 tahun.

Agustus besok di tahun ini, 2021, saya genap berusia 30 tahun. Dalam hati saya mengucap, “Sial, kenapa cepat sekali sih mencapai 30! Perasaan baru kemaren saya bereuforia di usia 20an; usia di mana saya dipenuhi dengan kesoktahuan dan perasaan merasa paling pintar dan merasa paling bisa ini-itu, sekali lagi, kenapa waktu cepet banget sih muternya?”

Tapi ya sudah, waktu toh mustahil berjalan mundur. Terima saja.

Saya sadari, usia 30 adalah usia ketika pemain sepakbola profesional Eropa (dengan catatan tidak berperilaku melampaui batas seperti Ronaldo “botak” & Ronaldinho) mencapai titik kematangan mental, intelektual, dan spiritual dalam dirinya sehingga sudah mampu membuat keputusan secara holistik tanpa harus banyak tanya, sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk dijalani, dan secara nominal pendapatan, biasanya mereka mencapai salary tertinggi dalam karier mereka di sekitar usia 30an.

Namun di sisi lain, mereka mulai mengalami penurunan performa fisik, cedera kerap dan begitu mudah menghampiri, dan gejala yang paling mengancam adalah betapa bibit-bibit muda potensial alias rising star sudah sangat siap menggantikan posisi kita dengan berbekal performa yang begitu trengginas dalam berlatih, bermain dan berkompetisi di lapangan.

Pada titik tersebut, mau tidak mau, kita mesti legowo untuk mempersiapkan rancangan karier 5 tahun hingga 10 tahun ke depan. Memilah-milah peruntungan apa yang cocok untuk kita jalani sampai usia senja. Dan tentu saja, kita harus mulai memprioritaskan kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kesehatan finansial.

Terkait kesehatan finansial alias fulus, sesuai dengan bahasan dalam tulisan yang saya buat 6,5 tahun silam di atas, nyatanya kini saya rasakan uang adalah alat yang efektif untuk mencapai tujuan. Namun demikian, uang hanyalah alat, tidak lebih. Uang memang powerful sekali digunakan untuk berbagai tujuan macam-macam yang dampaknya bakal penting dan krusial dalam menentukan peta masa depan kita.

Namun, karena uang sebatas alat, jika kita khilaf, seringkali kita “keliru” menggunakannya. Salah-salah kita sembarangan menggunakan uang untuk tujuan bukan semestinya. Semacam menggunakan kunci pas yang sedari awal ditujukan sebagai pengencang baut dan mur, malah kita paksakan pakai sebagai pemukul benda layaknya fungsi martil, ya hancurlah, sehingga kunci pas itu tak bisa lagi kita gunakan sebagaimana fungsi awal sebagai pengencang baut dan mur.

Dan oleh sebab uang adalah alat, maka kitalah sebagai pengguna yang mesti pandai-pandai menggunakannya untuk berbagai keperluan yang bermanfaat dan kita rasakan secara penuh nikmatnya, bukan sekadar nikmat sesaat.

Jangan sampai manusia yang diperalat oleh uang. Terlebih lagi, diperbudak oleh uang. Lebih parah lagi, mengkultuskan uang sebagai Tuhannya.[]

(Tulisan di atas pernah diunggah di blog lawas saya “Batas Pagi” dengan judul yang sama: “Adakah Fulus yang Tulus?”, diunggah pada 13 Desember 2014. Diterbitkan kembali di blog ini dengan beberapa penyesuaian dan tambahan tulisan untuk memperkuat konteks)

--

--

Cepy Hidayaturrahman

Paid Media Strategist | Facebook Ads Specialist | Google Ads Strategist | Lead Generation | Performance Marketing Specialist