9 Tahun Kemudian Setelah Hiatus dari Facebook
Genap dua bulan saya mereaktivasi akun facebook pertama saya setelah sembilan tahun dideaktivasi, dan saya menjumpai beberapa hal menarik yang semoga menarik juga untuk Anda baca di kala senggang.
Pertama, platform facebook yang selama ini konon begitu lekat dengan citra “alay” di mata kelas menengah urban, saya pikir-pikir lagi, nyatanya jauh lebih humanis dibanding platform twitter yang belakangan ini, saya akui, begitu riuh hingga kerap mendistraksi waktu-waktu produktif saya.
Humanis ini misalkan, di twitter, sebuah cuitan “seaman” mengunggah foto flatlay bekal suami untuk dibawa ke kantor saja, nyatanya bisa ditanggapi beragam balasan cuitan atau kutipan retweet yang dilayangkan dari kalangan yang mengaku feminis, aktivis HAM, penganut LGBTQ, hingga orang-orang yang mendaulat dirinya sebagai “anti nikah-nikah club”.
Adapun di facebook, saya amati kecenderungan pengguna yang tidak “sepakat” dengan status teman, keluarga, kolega hingga tokoh publik, mereka lebih memilih untuk mengabaikan konten-konten orang bersangkutan, yang dicerminkan oleh tidak menyumbang simbol menyukai, mencintai, tertawa, terkejut, atau berkomentar.
Perilaku mayoritas pengguna facebook tersebut saya anggap humanis, sebab di dunia nyata pun demikian. Sesehari, manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan peran satu sama lain, pasti selalu berusaha bersikap ramah di depan orang lain, dan tidak berani mengusik urusan kehidupan orang lain, lebih-lebih urusan rumah tangga, terlebih lagi urusan beragama.
Hal tersebut menciptakan interaksi yang hidup di facebook, didukung oleh kemudahan membalas komentar ke masing-masing pengguna yang mirip kolom percakapan pada aplikasi percakapan. Kalaupun sepi tidak ada yang berkomentar dengan kata lain tidak ada yang peduli pada sebuah konten facebook, ya sudah, suasana tetap tenteram, damai bagai pemakaman.
Kolom komentar di facebook, sepertinya memang sengaja didesain untuk merangsang interaksi yang nyaman antar pengguna.
Hal berikutnya yang saya temukan setelah sembilan tahun mereaktivasi akun facebook yakni, akun-akun anonim atau kerap disebut sebagai “akun alter”, sejauh ini belum saya temukan di facebook. Masing-masing pengguna masih pede mencantumkan nama aslinya. Belakangan saya ketahui, ternyata facebook memang mengharuskan / mewajibkan setiap pengguna untuk mencantumkan nama aslinya baik nama pertama, nama tengah, dan nama belakang.
Sepertinya ini upaya tindak lanjut dari isu keamanan data pengguna yang terjadi di lingkungan internal facebook beberapa waktu silam, yang kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan untuk menggiring opini publik dalam mencapai tujuan pribadi hingga kepentingan golongan.
Kembali lagi, mungkin, faktor ini pula yg membuat facebook ternyata malah “terasa” humanis. Dengan menggunakan nama asli, lazimnya, seseorang akan lebih jaim, menahan citra diri untuk mengumbar karakter aslinya karena sungkan berhadapan dengan tetangga, teman lama, orangtua, paman, bibi, hingga bos sendiri di platform facebook. Bukankah di dunia nyata pun demikian? Kita sepertinya mustahil berkoar-koar sendirian perihal sebuah pesan yang menurut kita harus disuarakan di depan kerumunan orang tak dikenal di pasar, misal. Kecuali memang dia berprofesi sebagai tukang obat.
Pengecualian untuk segelintir orang yang sedari awal memang gemar bersuara atau menyuarakan pesan ke khalayak ramai. Adapun jika seseorang manusia biasa, seperti saya, tidak disapa siapa-siapa di sana pun ya sudah, adem ayem saja. Jika seorang remaja-dewasa disapa oleh orang yang lebih tua secara usia, mereka membalas sapaan tersebut dengan sopan.
Meskipun hal ini akan rentan dikatakan oleh pemuda-pemuda urban kini sebagai “Munafik ah, lo! Gua kan pengen jadi diri sendiri di social media!” Coba renungkan kembali, di dunia nyata, memang ada manusia yang membuka jati diri 100% sebagai dirinya sendiri ke manusia lainnya?
Hal ketiga, di facebook, saya menemui banyak sekali status-status yang nyinyir, “ngomongin orang di belakang” tanpa menyebutkan nama orang bersangkutan, biasa diistilahkan di twitter sebagai “no mention”. Ya, sebelas-dua belas dengan status di aplikasi whatsapp. Gejala ini jamak saya temui, mungkin karena pengguna mayoritas facebook secara demografis adalah orang tua dan orang-orang yang “beranjak tua” dan tak muda lagi, sehingga mustahil di dunia nyata mengajak baku-hantam secara langsung dengan orang-orang yang mereka benci.
Berikutnya, upaya menyebar tautan dari platform media sosial lain seperti instagram, twitter, tiktok, ataupun blog, situs web, dan e-commerce, hasilnya cukup efektif untuk membangun personal branding, akan tetapi tidak efektif untuk meningkatkan impresi atau perhatian secara internal di platform facebook itu sendiri.
Untuk mendapatkan perhatian di facebook, kita wajib untuk menyuguhkan konten secara utuh di sana; baik itu foto, ilustrasi, maupun artikel panjang, harus utuh sampai akhir pesan yang ingin kita kampanyekan. Jika kita hanya memenggal artikel dengan tujuan agar diklik oleh para pengguna menuju landing page yang kita inginkan, hasilnya tidak efektif.
Demikianlah, beberapa hal di atas saya temui setelah dua bulan mereaktivasi akun facebook personal saya yang kini tampaknya sudah berdinamika jauh dibanding sembilan tahun silam yang menurut beberapa orang sebagai “sarang alay”. Kesimpulannya, saya harus menelan opini saya dulu, “Fesbuk mah gak asyik, orang-orangnya kolot, gak open minded!”
Ah, di twitter yang konon isinya orang-orang yang mengaku open minded dan well-educated saja, ujung-ujungnya malah merundung orang lain yang tidak sefrekuensi dengan ideologi mereka. Saya pikir saat ini, Indonesia tidak butuh perdebatan, kita hanya butuh ngobrol, bermusyawarah, tak apa musyawarah tanpa mencapai mufakat pun. Hal esensial dari musyawarah adalah bertukar pikiran, tanpa harus merampok identitas dan jati diri masing-masing hanya demi kepentingan pribadi dan golongan.
Tidak ada media sosial yang paling baik, paling hebat, atau “paling cendekiawan”. Sebab yang membuat sebuah kanal media sosial tetap hidup dan masih bertahan hingga kini tanpa diakuisisi perusahaan teknologi lain yang modalnya lebih makmur adalah kerumunan manusia-manusia beragam latar belakang demografis dan psikografis, yang perilakunya jauh dari sempurna sebagaimana hakikat manusia di mata Tuhan, tetapi semuanya merasa paling sempurna.[]
Pertama kali tayang di “Instagram Story” yang dikelola oleh saya sendiri di @keluarrumahproject. Diterbitkan kembali di blog ini dengan beberapa penyesuaian.