5 Lagu Pop Indonesia Beragam Era yang Sebelumnya Saya Daulat Cringe Namun Setelah Saya Dengarkan Kembali Sekarang Kok Enak Juga
Membincang musik, ujung-ujungnya memang selalu jatuh pada perkara selera, yang notabene sulit untuk dipertemukan titik kompromisnya dalam tiap perdebatan, hingga perkelahian antar selera, bahkan antar strata sosial.
Sebagaimana karya seni lainnya, perkara musik yang enak didengarkan itu sulit untuk dapat kita sama-sama pukul rata, misal jika saya menganggap Dream Theater adalah band progressive metal paling sophisticated sejagat raya yang mustahil tergantikan oleh band dari generasi mana pun dari masa lalu maupun dari masa depan, namun pendapat saya belum tentu benar menurut perspektif akang-akang sopir truk Pantura yang menurutnya dangdut koplo-lah musik yang paling “aing pisan”, sebab selain lirik dangdut koplo adalah lagu yang paling mewakili pahit-getir kehidupan ia dan keluarganya, pun alunan dan irama khas koplo yang memang cenderung progresif itu juga berhasil meningkatkan mood dan selalu setia menemani kesehariannya, sehingga berkat dangdut koplo ia selalu terbebas dari serangan kantuk dalam mengemudikan truk bermuatan cukup berat baik secara berat secara harfiah maupun tanggung jawab, terlebih dalam menempuh perjalanan yang panjang menyusuri jalur Pantura dari Barat ke Timur dan kembali lagi ke Barat.
Terlepas dari perkara selera, baru-baru ini saya semacam diingatkan kembali oleh beberapa lagu yang pada masa lalu sempat saya risak sebagai “musik apaan sih nih, gini amat?”
Apabila kamu tanya alasannya pada saya mengapa saya pada mulanya sempat mengejek daftar lagu berikut ini, saya pun tidak tahu. Mungkin dulu saya terlalu banyak waktu luangnya sehingga masih melimpah energi untuk membenci suatu hal yang padahal bukan urusan saya dan bukan ranah expertise saya juga. Dan saya kini akhirnya menyadari bahwa beberapa lagu yang termaktub pada daftar berikut ini ternyata “Lagunya kok enak juga ya? Kok gak dari dulu sih gua dengerin!”. Alasan lain, mungkin juga lantaran saya telah melewati berbagai fase hidup yang naik-turun, ditambah kondisi saya sudah menikah dan berkeluarga (dan tentu saja lengkap dengan berbagai urusan domestik) sehingga pikiran saya sehari-hari udah penuh buat mikirin hal-hal yang berat kayak dulu, dan kini perlahan justru benak saya dapat kembali menerima asupan-asupan ringan, seringan deretan 5 lagu berikut ini yang ternyata impactnya tidaklah ringan; melainkan sangat kuat mengubah perspektif saya!
1. Cassandra — Cinta Terbaik
Jika saya ingat-ingat kembali, sepertinya pertama kali saya mendengarkan lagu ini awalnya dari istri saya yang terkadang suka memutar musik dari hapenya secara loud speaker ketika ia sedang mencuci piring pada hari Minggu, mungkin sekitar 3–4 tahun lalu. Namun seperti biasanya, saya selalu skeptis pada lagu-lagu Indonesia yang nadanya “terdengar sangat pop” oleh kuping saya yang gengsinya selangit, termasuk “Cinta Terbaik”-nya Cassandra.
Barulah belakangan ini saya tak sengaja dengarkan kembali lagu ini, sebab lagu berjudul “Cinta Terbaik” yang dibawakan oleh Cassandra tersebut sering dipakai lagu atau background song oleh anak-anak Gen-Z pada platform TikTok. Dan yang lebih gila lagi, lagu tersebut justru jauh lebih populer versi koplonya! Gila, sumpah saya gak kepikiran kok bisa gitu ya, anak remaja gaul ibukota sekarang kok malah bangga merayakan koplo, kontras banget sama generasi saya dulu yang kebanyakan sama-sama merisak koplo. Oke, perkaran koplo ini sepertinya perlu ada bahasan lain. Skip dulu ya. Next.
Sejujurnya, setelah saya dengarkan kembali, single pertama yang dirilis oleh Cassandra di tahun 2012 ini memang enak sekali untuk dinikmati sih. Enak banget malah. Ngepop banget pokoknya. Bikin rileks.
Sensasi rileks tersebut mengemuka mulai dari awal lagu. Kuping saya kayak dikasih jeda untuk meliuk-liuk mengikuti melodi dan vokal suara yang juga enak didengar. Dan percayalah, puncak kenikmatan lagu ini ada pada bagian reff. Kuping saya semacam “diayun-ambing”; diayun-ayun, dininabobokan, kemudian nyaris tertidur, eh tiba-tiba dilempar namun kemudian diayun-ayun kembali hingga berhasil tertidur pulas dengan hati yang tenang. Hati kecil saya pun akhirnya berkata, “Pantesan lagu ini sering dipake bocah-bocah Gen-Z buat TikTokan bahkan katanya suka dipake mereka dugem, soalnya dinamika nadanya emang kayak kehidupan yang naik turun ekstrem sih.”
Selain itu, liriknya pun cukup mudah dicerna, dan tentunya yang namanya lirik seputar cinta bertepuk sebelah tangan, tentunya tema ini saya pikir akan selalu populer dan evergreen sepanjang masa dalam tiap generasi. Didukung pula oleh karakter vokal dari sang vokalis yang memberi sentuhan irama paling pas untuk lagu ini, pokoknya real rhapsody deh!
Adapun aransemennya menurut saya mereka mengusung aransemen yang tidak neko-neko dan enggak njelimet. Easy listening. Kesederhanaan aransemen ini pulalah yang mungkin merangsang para DJ untuk ramai-ramai me-remix hingga “mengkoplokan” lagu Cassandra ini dengan warna aransemen yang lebih kompleks dengan hasil yang ternyata ramai dipuja-puja oleh remaja-remaja Gen-Z, termasuk digunakan pula beramai-ramai pada platform kesayangan mereka: TikTok.
Maka dari itu, berkat kesederhanaan dan “kejeniusan” reff-nya lah, lagu “Cinta Terbaik” dari Cassandra ini saya nobatkan di urutan pertama di antara “5 Lagu Pop Indonesia Beragam Era yang Sebelumnya Saya Daulat Cringe Namun Setelah Saya Dengarkan Kembali Sekarang Kok Enak Juga” versi saya kali ini.
Dan yang bikin saya seneng juga adalah, gak ada lirik campur baur bahasa inggris ala-ala dalam lagu “Cinta Terbaik” ini.
2. Armada — Mau Dibawa Kemana
Sebelumnya saya ingin meminta maaf pada segenap personil Armada, karena dulu semasa sekolah saya pernah menganggap lagu-lagu kalian itu sama “alay-nya” kayak band-band beraliran melayu lainnya yang pada medio 2007–2010an ramai sekali mewarnai belantika musik Indonesia.
Padahal.. setelah saya dengarkan kembali beberapa lagu Armada, misalnya “Pemilik Hati”, “Hargai Aku”, dan yang menurut saya cukup menarik perhatian saya adalah “Mau Dibawa Kemana”, lagu kalian enak-enak semua!
Aransemennya sederhana. Liriknya pun sederhana. Namun, makna di dalamnya menurut saya tidaklah sederhana. Rumit, ruwet, seruwet hubungan cinta yang stuck gak bisa dibawa ke mana-mana.
Dengan kata lain, lirik lagu “Mau Dibawa Kemana” dari Armada ini sangat relevan di berbagai generasi. Paling-paling cuman beda istilahnya aja. Dulu mungkin lebih dikenal dengan istilah hubungan gantung, teman tapi mesra (TTM), hubungan tanpa status (HTS), dan kini lebih dikenal oleh para remaja-remaja Gen-Z dengan istilah friend with benefit (FWB). Intinya sama saja; hubungan yang jalan di tempat.
Sensasi mendengarkan lagu ini fun banget. Udah mah liriknya emang menggelitik, ditambah dengan benefit berupa “ngeunaheun pisan laguna”. Paket komplet dari Armada lah pokoknya, kasih tepuk tangan dulu buat Armada yang sampai saat ini masih eksis sebagai satu-satunya band beraliran melayu di Indonesia yang masih terus konsisten berkarya di tengah industri musik yang masih banyak berbenah dalam proses transformasi ke digital.
3. Armada — Asal Kau Bahagia
Lupakan dulu pragiarisme. Saya tak terlalu peduli sama hal tersebut, termasuk dengan isu lagu Armada satu ini yang katanya “mirip” dengan theme song Meteor Garden baheula. Buat saya sih wajar ada kemiripan, karena tangga nada itu cuman 7, dan berbagai variasi 7 nada tersebut sudah banyak digunakan dan direka sedemikian rupa selama ini oleh musisi-musisi pop di seluruh dunia, jadi wajar saja kalau misal ada kemiripan antara sebuah lagu dengan beberapa lagu lain di seluruh dunia.
Kesan saya masih sama sebagaimana halnya mendengarkan lagu Armada sebelumnya. Lirik relevan, aransemen tidak neko-neko, pas pisan lah pokoknya. Dengan kelebihannya tersebut, tidak heran makanya lagu ini terakhir saya lihat ketika menulis artikel ini sudah dilihat oleh lebih dari 373juta penonton di kanal YouTube. Gila, lebih dari total jumlah penduduk Indonesia tuh. Lama-lama bisa bikin negara sendiri tuh Armada Band.
4. Anggun C Sasmi — Tua Tua Keladi
Coba deh tonton video klipnya. Mixer hijau second hand. Tata lampu ala tujuh belasan. Tata artistik dan juga aransemen musiknya mirip dengan yang ada di lirik lagu “Disko Darurat”-nya The Upstairs yang mengacu ke era musik di tahun 80an hingga 90an awal.
Awalnya sih saya gak gimana-gimana amat sama ini lagu. Biasa aja, soalnya awalnya saya merasa kok aransemennya jadul banget ya, pake drum elektrik pula yang hentakan dan tabuhan drumnya terdengar sangat artifisial. Ditambah liriknya yang cenderung “urakan”, wajar sih karena memang sedang membahas kelakuan urakan para pria paruh baya hingga usia tua keladi.
Tapi semua itu berubah ketika tren “Japanese City Pop” ala 80an kembali melanda kelas menengah Jakarta sejak akhir 2020. Entah kenapa, hentakan dan tabuhan drum elektrik ala era 80an tersebut, menjadi terdengar keren ketika tren pop kota kembali hype. Dan salah satu lagu yang mengusung aransemen tersebut adalah “Tua Tua Keladi” yang diusung Anggun C. Sasmi.
Khusus untuk lagu satu ini, saya merasa dapat mendengarkannya kembali dengan riang gembira dan hati yang nyaman mungkin juga lantaran dimeriahkan oleh tren pop kota itu belakangan ini, termasuk lagu-lagunya Candra Darusman, Fariz RM, hingga Yockie Suryo Prayogo.
5. Broery Marantika — Jangan Ditanya ke Mana Aku Pergi
Dulu alm. Bapak sering memutar lagu Broery Marantika (yang sebelumnya dikenal pula dengan nama Broery Pesolima. Sehingga pada suatu masa di pertengahan 2015, ketika saya sedang mendengarkan radio lokal Cirebon (karena di kosan tidak ada televisi dan kuota internet masih mahal untuk dipakai streaming musik) di tengah malam di kosan saat sedang menyusun skripsi di sebuah pabrik yang berlokasi di sana, kebetulan penyiarnya memutar lagu “Jangan Ditanya” yang populer dibawakan oleh Broery Marantika. Seketika, tengah malam itu juga saya langsung mewek-mewek sendirian, teringat bapak di kampung halaman yang suka muter lagu yang sama.
Setelah itu, sampai sekarang saya jadi suka mendengarkan lagu-lagu Broery yang lainnya juga, seperti “Berikan Daku Harapan”, “Widuri”, “Jangan Ada Dusta di Antara Kita”, “Semalam di Cianjur”, “Sepanjang Jalan Kenangan”, “Mengapa Harus Jumpa”, “Setangkai Anggrek Bulan”, hingga yang paling enak di kuping tuh ya “Jangan Ditanya ke Mana Aku Pergi” ini. Belakangan saya ketahui lagu “Jangan Ditanya” ini ternyata digubah oleh maestro musik Indonesia: Ismail Marzuki. Pantesan….. enaknya paripurna!
Sebelumnya saya tidak tahu kenapa kini saya jadi sangat menikmati lagu-lagunya Broery tersebut. Namun setelah saya resapi kembali, mungkin semua lagu-lagu Broery di masa lalu tersebut maknanya menjadi relevan kini karena usia saya sudah masuk usia paruh baya; usia yang sama ketika Broery menyanyikan lagu-lagu tersebut puluhan tahun silam.
Dan ketika mendengarkan lagu-lagunya Broery, entah kenapa atmosfer yang terbangun adalah suasana perjalanan menyusuri bukit-bukit kebun teh di Puncak, turun ke Cipanas, Cianjur, Sukabumi. Intinya, suasana yang berhasil dibangun ketika memutar lagu-lagu Broery adalah suasana liburan, pelarian dari rutinitas. Suasana liburan yang notabene melahirkan perasaan menenangkan sekaligus membahagiakan.[]
Bogor, 23 Januari 2022
CH